Menjaga Kehormatan Ulama
Gambar Hanya Ilustrasi |
Mencermati maraknya kriminalisasi Ulama di negeri kita yang dilakukan oleh oknum penguasa akhir-akhir ini, kita menyaksikan ada satu fondasi yang hilang dari bangunan bangsa ini yakni ‘Adab’. Kita telah kehilangan ‘Adab’ (Lost of Adab). Penguasa dengan begitu mudahnya menuduh, memfitnah dan memenjarakan para Ulama hanya karena bersikap kritis atas beberapa kebijakan pemerintah yang dipandang tidak benar. Sikap penguasa seperti ini tentu saja merusak keseimbangan alam. Ulama sebagai penjaga moralitas bangsa seyogyanya dijaga, dihormati dan dimulyakan. Namun tatkala kredibilitas Ulama dirusak maka kekokohan bangunan negeri ini akan goyah.
“Ulama adalah
pewaris para Nabi” begitulah Rasulullah tegaskan dalam sabdanya yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At Tirmidzi. Tentu saja sebagai pewaris para Nabi,
ulama memiliki peran dan fungsi sebagaimana para Nabi sekalipun status mereka
tetap sebagai manusia biasa bukan Nabi ataupun Rasul. Oleh karena itu ulama
memiliki tanggungjawab membina, membimbing, menjaga umat di jalan kebenaran dan
menghindarkan mereka dari jalan kesesatan sesuai syariat Allah dan Rasul-Nya.
Jika keberadaan
para Nabi adalah karunia yang sangat berharga, maka keberadaan para ulama pun
di tengah-tengah masyarakat merupakan karunia yang tak ternilai harganya. Jika
keberadaan para Nabi mutlak dibutuhkan oleh umat maka begitupun para ulama.
Jika para Nabi adalah manusia agung yang harus ditaati dan dihormati, begitu
pula para ulama adalah manusia mulia yang harus ditaati dan dihormati sesuai
koridor syar’i.
Imam Ibnu Jarir
at Thabari dalam tafsirnya Jami’ul Bayan menjelaskan bahwa yang dimaksud ulama
adalah seseorang yang Allah jadikan sebagai pemimpin atas manusia dalam perkara
fiqih, ilmu, agama, dan dunia. Sementara itu, imam Ibnul Qayyim al Jauziyah
dalam I’lamul Muwaqqi’innya membatasi bahwa ulama adalah orang yang pakar dalam
hukum Islam, yang berhak berfatwa, yang menyibukkan diri dengan mempelajari
hukum-hukum Islam kemudian menyimpulkannya dan merumuskan kaidah-kaidah halal
dan haram.
Ulama adalah
seorang pemimpin agama yang dikenal luas masyarakat akan kesungguhan dan
kesabarannya dalam menegakkan kebenaran, sebagaimana Allah firmankan dalam
surat As Sajdah ayat 24, “Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah kami, ketika mereka bersabar. Dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat kami.”
Dengan
kedudukan ulama yang begitu vital dan terhormat, maka menjaga kehormatannya
menjadi sebuah keniscayaan. Karena membela kehormatan ulama sama dengan membela
agama itu sendiri. Syaikh Utsaimin pernah berkata, “Mengghibah ulama memberikan
mudharat kepada Islam seluruhnya. Karena umat akan tidak percaya lagi kepada
ulama lalu mereka akan meninggalkan fatwa para ulama dan lepaslah mereka dari
agama.”
Syaikh Shalih
Al-Fauzan berkata: ‘Memuliakan para ulama adalah sebuah kewajiban. Karena
mereka adalah pewaris para nabi. Sikap meremehkan ulama yang mereka lakukan
termasuk perendahan terhadap kedudukan mereka, perendahan terhadap warisan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dan perendahan terhadap ilmu yang mereka miliki. Jika kita tidak memiliki kepercayaan pada
para ulama, lalu kepada siapakah kita akan menaruh kepercayaan? Jika
kepercayaan terhadap para ulama telah hilang, lalu kepada siapakah kaum
muslimin meminta solusi dalam menyelesaikan masalah-masalahnya dan meminta
penjelasan tentang hukum-hukum syari’at? Tatkala hal itu telah terjadi, maka
akan terjadi kekacauan dan kebingungan dalam umat".
Memiliki dan
mengamalkan adab terhadap ulama adalah keharusan. Tidak boleh mencela,
menggibah dan merendahkan kehormatan ulama. Ibnu ‘Asakir berkata, “Ketahuilah,
bahwa daging–daging ulama itu beracun, dan sudah diketahui akan kebiasaan Allah
dalam membongkar tirai orang-orang yang meremehkan atau merendahkan mereka, dan
sesungguhnya barang siapa yang melepaskan lidahnya untuk mencela ulama maka
Allah akan mengujinya dengan kematian hati sebelum ia mati.”
Syaikh Awad
Ar-Ruasti menjelaskan tentang makna perkataan ini, “Siapa yang suka berbicara
tentang aib para ulama, maka dia layaknya memakan daging para ulama yang mengandung
racun, akan sakit hatinya, bahkan dapat mematikan hatinya.”
Syaikh Umar
As-Sufyani mengatakan, “Jika seorang murid berakhlak buruk kepada gurunya maka
akan menimbulkan dampak yang buruk pula, hilangnya berkah dari ilmu yang
didapat, tidak dapat mengamalkan ilmunya, atau tidak dapat menyebarkan ilmunya.
Itu semua contoh dari dampak buruk.”
Kalangan yang
memusuhi syariat agama ini menggunakan berbagai cara untuk menghancurkan Islam.
Salah satu cara yang mereka lancarkan dalam rangka meruntuhkan kewibawaan Islam
adalah menggugat otoritas ulama. Mereka mengetahui bahwa pokok dari tegak dan
terpeliharanya agama ini adalah keberadaan para ulama yang dihormati dan
ditaati. Maka mereka menyebarkan pemikiran bahwa tidak ada yang boleh dan bisa
menjadi pihak yang otoritatif dalam memahami agama ini. Semua orang berhak dan
bisa memahami dan menafsirkan agama sesuai kehendaknya. Bahwa semua faham dan
tafsir adalah benar dan tidak ada yang paling benar atau satu-satunya yang
benar. Bahwa para ulama juga adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa
benar. Hanya Allah lah yang benar sementara pemahaman manusia terhadap agama
hanya bersifat nisbi dan relatif. Mereka gambarkan dan publikasikan keburukan
dan fitnah kepada ulama sehingga hilanglah kepercayaan dan rasa hormat manusia
kepada ulama.
Sehingga ketika
umat terpengaruh oleh paham mereka yang sesat itu dan lepas dari pemahaman dan
keyakinan bahwa Allah telah mengajarkan kebenaran dan telah memberitahukan mana
kebenaran dan mana kebatilan serta manusia telah diberikan kemampuan oleh Allah
untuk dapat memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang salah maka umat
terjerat turut menjauhi ulama. Mereka merendahkan ulama dan mencampakkan fatwa
dan pandangan para ulama. Allah memberikan ancaman kepada mereka dengan firman-Nya,
“Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orng mukmin, maka Kami biarkan ia
bergelimang dalam kesesatannya, dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam,
dan neraka Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa’ : 115)
Telah sangat
jelas sikap meninggalkan dan merendahkan ulama berdampak kepada kerusakan
masyarakat yang sangat fatal dan mengerikan.
Rasulullah telah mengingatkan dalam sabdanya, “Sesungguhnya Allah
tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari diri para ulama, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan matinya para ulama, sehingga jika tidak tersisa seorang
ulama-pun, maka masyarakat akan mengambil orang-orang bodoh sebagai pemimpin,
jika mereka ditanya mereka menjawab tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan
menyesatkan. ” (HR. Bukhari)
Sesungguhnya
menjaga kehormatan ulama, mentaati dan memuliakan mereka adalah kebutuhan manusia dan kehidupan. Tanpa ulama, manusia
akan hidup tanpa bimbingan dan arahan yang pada akhirnya tatkala manusia hidup
tanpa aturan, tidak ada yang ditaati dan dipatuhi maka kehancuran kehidupan
hanya tinggal menunggu waktu. Maka sebagai bukti kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya, hendaklah manusia mentaati para ulama yang benar sebagaimana Allah
titahkan dalam firman-Nya; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasul (As-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(An-Nisa’: 59)