Kejayaan Pendidikan Islam
Gambar Hanya Ilustrasi Dari Unsplash.com |
Oleh: Wildan Hasan | Penulis Buku Perang Panjang
Kejayaan pendidikan Islam di masa silam, jelas tidak gratisan juga. Bahkan mahal. Tapi, biaya tinggi penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak dibebankan kepada masyarakat. Negara lah yang bertanggung jawab.
Menurut Abdurrahman al-Maliki dalam kitab As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla (1963), Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok masyarakat akan pendidikan ,kesehatan dan keamanan. Ini mengacu kepada wasiat Rasulullah SAW yang diperkuat oleh ijma’ para Sahabat: “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR. Muslim)
Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru dan dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban Negara alias gratis (Usus Al-Ta’lim Al-Manhaji: 12). Rasulullah misalnya, setelah memenangi perang Badar, mempekerjakan sebagian tawanan untuk mengajari baca tulis sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).
Khalifah Umar ra dan Utsman ra memberikan gaji kepada para guru, muadzin dan imam shalat jamaah. Khalifah umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan Negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas Negara) (Rahman, 1996; Azmi, 2002; Muhammad, 2002). Gaji untuk para guru mengaji anak-anak di zaman khalifah Umar setara dengan gaji Guru Besar sebuah universitas di Indonesia saat ini.
Sejak abad IV H para Khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).
Di antara perguruan tinggi terbesar masa Islam adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di kairo. Madrasah Al-Mustanshiriyah didirikan oleh khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan. Lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat. (Khalid, 1994).
Pada era Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istambul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah itu dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).
Jelas semua itu mahal biayanya. Tapi, sekali lagi, itu menjadi tanggung jawab Negara. Tentu saja Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya untuk turut menyelenggarakan pendidikan. Sejarah mencatat, saat itu banyak warga kaya yang membangun Sekolah dan Universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, atau Isfahan, terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang dibiayai wakaf pribadi (Qahaf, 2005). Salah satunya adalah wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar, berupa fasilitas kendaraan, asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa pendidikan. (Qahaf, 2005).
Kejayaan itu lahir karena pemimpin dan umat saat itu masih berpegang kuat pada dua warisan Rasulullah SAW yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah. Buktinya, setelah pemimpin dan umat mulai meninggalkan dua warisan tesebut akibat tergoda kenikmatan dan kemewahan duniawiyah, runtuhlah peradaban dan kejayaan kaum muslimin dengan sendirinya. Lalu, apalagi yang menghalangi kita untuk menanggulangi bencana pendidikan di negeri ini selain kembali ke pangkuan Al-Qur’an dan As-Sunnah?