Keprihatinan Seorang Natsir
Dalam Salah satu catatan akhir pekannya di Radio Dakta Bekasi, Adian Husaini menyebutkan bahwa Natsir sangat sedih dan khawatir atas merebaknya destruktifikasi Islam oleh kalangan yang mengaku sedang melakukan pembaruan Islam. Namun sebelum lebih jauh membedah sikap dan antisipasi natsir terhadap gerakan ini, latar belakang pemikiran Islam Natsir penting dielaborasi untuk menentukan seberapa kompeten Natsir menyikapi fenomena di atas.
M. Natsir,
menurut salah satu muridnya, Yusril Ihza Mahendra memandang bahwa
tulisan-tulisannya, yang seluruhnya ditulis sebagai respons intelektual
terhadap perkembangan zaman, yang menjadi keprihatinannya. Tulisan-tulisan itu
dibuat untuk memberikan percerahan dalam rangka membangun kesadaran baru
terhadap dua hal pokok, pertama keprihatinan terhadap Islam dan umatnya, dan
kedua keprihatinan terhadap situasi yang dihadapi bangsa, baik di masa
penjajahan maupun setelah kemerdekaan. Keprihatinan terhadap Islam dan umatnya
memang telah menjadi fokus perhatian Natsir sejak awal. Beliau lahir dan
dibesarkan dalam lingkungan masyarakat Minangkabau, ketika Adat dan Islam
menjadi bahan polemik berkepanjangan dalam masyaratnya. Memasuki awal abad ke
dua puluh, gerakan pembaharuan Islam semakin menguat di Minangkabau, dan hal
ini menjadi sumber polemik pula. Natsir – karena latar belakang keluarganya –
memilih Islam sebagai jalan hidup.
Dengan memilih
Islam, Natsir ingin memberikan kerangka pemahaman baru terhadap Islam, sehingga
Islam benar-benar menjadi pedoman hidup dan jalan hidup yang bersifat abadi dan
universal. Dalam konteks ini Natsir memberikan kontribusi yang signifikan, yang
menempatkan dirinya sebagai seorang pembaharu, bukan saja di bidang pemikiran,
tetapi juga di dalam gerakan Islam. Dalam konteks pembaharuan ini, para
akademisi umumnya menyimpulkan bahwa gerakan pembaharuan Islam di Indonesia
karena pengaruh dari berbagai gerakan pembaharu di Timur Tengah atau Asia
Selatan.
Buya Hamka
dalam orasi penerimaan gelar doktor kehormatan dari Universitas Al-Azhar di
tahun 1962, menyebutkan pengaruh yang sangat besar dari Syekh Muhammad Abduh
kepada gerakan pembaharuan di tanah air. Buya Hamka menyebutkan hampir semua
tokoh-tokoh pembaharu itu mendapat pengaruh dari Mohammad Abduh. Dari berbagai
dialognya, Yusril berkesimpulan bahwa Natsir sampai kepada cita pembaharuan
Islam itu, bukanlah karena pengaruh pemikiran dari Timur Tengah, melainkan
berangkat dari keprihatiannya sendiri.
Natsir secara
khusus sangat terkesan dengan tafsir al-Manar karya mohammad Abduh, baik karena
interpretasi-interpretasinya yang sangat maju dalam menjelaskan Islam sebagai
suatu sistem. Ia juga sangat terkesan dengan argumen-argumen Abduh dan Rasyid
Ridla tentang kebajikan-kebajikan Islam yang dapat berkembang dalam dunia
modern, bukan hanya dengan pemurnian Islam sendiri, melainkan juga melalui
dorongan untuk memahami ilmu pengetahuan barat.
Natsir kemudian
menggunakan metode berpikir yang didapatnya di pendidikan Barat yang
ditempuhnya untuk menelaah berbagai literatur dengan kritis. Yusril
menyebutkan, baru di masa belakangan Natsir membaca Tafsir Al-Manar dan
karya-karya Mohammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridla, serta pembaharu lainnya
dari Timur Tengah. Namun Natsir mengaku telah membaca berulangkali karya Ali
Abdurraziq yang kontroversial, Al-Islam wa Uhulul Hukm, ketika berpolemik
dengan Sukarno. Sebelumnya Natsir banyak berdiskusi dengan A Hassan (gurunya di
Persatuan Islam Bandung), Agus Salim dan Tjokroaminoto. Natsir, pada dasarnya
adalah seorang otodidak dalam mengembangkan pemikiran tentang Islam.
Natsir
berkeyakinan bahwa ajaran Islam adalah adalah abadi dan bersifat universal.
Islam menekankan tauhid dan menentang kemusyrikan, agar manusia mempunyai
orientasi yang benar dalam hidupnya. Etika pribadi dan sosial ditegakkan atas
dasar iman kepada Allah Yang Maha Melihat lagi Mengetahui. Iman kepada hari
akhir akan mendorong ketaatan setiap insan kepada kaidah-kaidah etika, karena
Allah akan mengadili setiap perbuatan manusia dengan seadil-adilnya. Ibadat
harus dilaksanakan dengan konsisten. Itulah sebabnya Natsir menulis buku
tentang pelajaran shalat yang sengaja ditulisnya di dalam Bahasa Belanda, yang
ditujukan kepada orang-orang berpendidikan Barat agar memahami dan
melaksanakannya.
Mengenai soal
hukum, Natsir berpendapat syari’at Islam sangatlah luas dan mempunyai
fleksibilitas untuk ditafsirkan ulang guna memenuhi kebutuhan zaman. Namun
manusia, menurutnya, tidak dapat melampaui batas-batas atau hudud yang telah
ditetapkan Allah dan Rasulnya. Untuk itulah diperlukan iman, mengingat
keterbatasan pengetahuan manusia dan relativitas temuan ilmu-pengetahuan.
Nuansa pemikiran seperti ini terlihat dalam jawaban Natsir atas tulisan-tulisan
Ir. Soekarno menjelang tahun 1940.
Salah satu
sumbangan besar Natsir dalam pemikiran Islam ialah gagasannya tentang Islam
sebagai Ideologi. Apa yang dimaksud Natsir tentulah bukan wahyu Allah di dalam
al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah adalah sebuah ideologi. Namun
ajaran-ajaran Islam yang terkandung di dalam kedua sumber ajaran itu dapat
ditransformasikan dan diformulasikan ke dalam sebuah rumusan untuk dijadikan
sebagai landasan bagi sebuah gerakan politik. Rumusan itu bersifat eksplisit,
tegas dan sekaligus menyebutkan cara-cara untuk mencapainya. Rumusan seperti
itulah yang disebut sebagai ideologi.
Natsir
memberikan sumbangan pemikiran yang sangat penting untuk membangun kesadaran
umat Islam dalam melaksanakan ajaran agama dan mempertahankan eksistensi
dirinya. Di zaman Belanda, natsir sangat prihatin dengan ketimpangan kebijakan
Pemerintah kolonial Belanda dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah dan
pendidikan Islam, dibandingkan dengan dukungannya kepada missi dan
penyelenggaraan pendidikan Kristen di tanah air. Keprihatinan Natsir terhadap
kegiatan missi Kristen terus berlanjut sampai wafatnya.
Namun Natsir
mempunyai perhatian yang besar pula dalam mendukung kegiatan-kegiatan dakwah di
berbagai kampus di seluruh tanah air. Perhatian Natsir kepada pendidikan, telah
muncul sejak usia muda. Natsir terlibat dalam mendirikan berbagai perguruan
tinggi Islam di tanah air. Natsir melihat jauh ke depan. Nasib umat Islam akan
menjadi lebih baik, jika pendidikan dibenahi. Natsir juga mengirim banyak
generasi muda untuk menuntut ilmu ke berbagai negara.
M. Natsir saat
menjadi Perdana Menteri pertama RI 1950-an mengeluarkan rekomendasi kepada
sejumlah mahasiswa untuk belajar ke luar negeri khususnya di Timur Tengah. Di
antara universitas di Timur Tengah yang dijadikan tempat belajar oleh mahasiswa
Indonesia adalah : (1) Universitas Islam al-Madinah Al-Munawarrah, Arab Saudi,
(2) Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi dan (3) Universitas Al-Azhar,
Kairo Mesir.
Azyumardi Azra
mengutip hasil penelitian Mona Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Timur
Tengah khususnya di Al-Azhar. Menurutnya mahasiswa Indonesia di Timur Tengah
terbagi pada dua kelompok secara umum yaitu mahasiswa sebelum tahun 1970-an
yang cenderung memiliki pemikiran “Islam Liberal” seperti Hassan Hanafi atau
Zaki Najib Mahmud dan mahasiswa setelah tahun 1970-an pemikirannya bernada
“Islam Fundamentalis”. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi
Timur Tengah itu sendiri dari semangat liberalisme berubah kepada arus
fundamentalisme.
Annis Matta Lc
(salah seorang lulusan Timur Tengah), menyatakan bahwa semangat pemikiran
Al-Ikhwanul Al-Muslimun telah merasuk di perguruan tinggi-perguruan tinggi di
Saudi Arabia sejak tahun 1980-an, perpustakan untuk pemikiran Islam semuanya
diisi oleh buku-buku yang dikarang para tokoh IM, maka menurutnya secara
otomatis pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin terbawa oleh para mahasiswa yang
belajar disana.
Sepulangnya
belajar di luar negeri, bila lulusan Barat (AS) membawa “oleh-oleh” Islam
Ilmiah (Pembaharuan Pemikiran Islam) sedangkan lulusan Timur Tengah membawa
“oleh-oleh” Islam Harakah (Islam pergerakan-khususnya Al-Ikhwanul Al-Muslimun).
Tercatat
beberapa nama diantaranya Ustadz Abu Ridha Lc, Ustadz Rahmat Abdullah Lc,
Ustadz Hilmi Lc., Ustadz Saeful Islam Mubaraq Lc., dll, yang gencar
mendakwahkan pemikiran-pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin dengan membentuk
gerakan dakwah Tarbiyah. Geliat dakwah lulusan Timur Tengah ini mendapat respon
luar biasa di kampus-kampus seperti UI, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, UNPAD, UGM
, dll di antara tahun 1980-1998 yang kemudian bermetamorfosis menjadi PK
selanjutnya PKS.