Cadar di Mata Menteri Agama
Gambar Hanya Ilustrasi |
Berapa hari lalu Menteri Agama (Menag) Fakhrul Razi menyampaikan rencana Kementerian Agama (Kemenag) untuk melarang muslimah bercadar masuk ke instansi pemerintah. Alasannya untuk mengantisipasi kasus seperti penusukan terhadap Wiranto oleh wanita bercadar dan suaminya beberapa waktu lalu.
Pernyataan
Menag ini jelas meresahkan. Bahkan seolah jadi alibi bahwa benar kasus
penusukan terhadap Wiranto dalam rangka mendiskreditkan Islam dan umat Islam.
Sebagaimana
diketahui, peristiwa penusukan terhadap Wiranto tidak terjadi di dalam gedung
instansi pemerintah. Peristiwa itu terjadi di lapangan terbuka yang barangkali
bagian dari wilayah instansi pemerintah juga. Tapi peristiwa itu terjadi lebih
karena kelalaian proses pengamanan terhadap pejabat negara. Bukan karena soal
pelaku bercadar atau tidak.
Soal instansi
ini pun membingungkan. Yang dimaksud instansi itu fisiknya, gedung dan wilayah
sekitarnya atau lembaganya? Jika yang dimaksud gedung, berarti muslimah
bercadar tidak akan bisa masuk dan mendapatkan pelayanan apapun dari
pemerintah. Jelas ini diskiriminatif. Sementara jika yang dimaksud adalah
lembaga, dalam arti muslimah bercadar tidak bisa jadi pegawai di
instansi-instansi pemerintah, ini lebih diskriminatif dan amat kejam.
Menag
menyatakan bahwa dirinya tidak berfikir untuk melarang cadar. Memang tidak
perlu dilarang. Hukum cadar sendiri di kalangan ahli fikih Islam berbeda-beda.
Masyarakat sudah terbiasa dengan perbedaan itu. Adapun pernyataan Menag bahwa
cadar bukan indikator keimanan, mengandung kebenaran di satu sisi juga
kesalahan di sisi lain.
Muslimah yang
sudah berhijab (berjilbab) sesuai syariat derajatnya tidak lebih rendah dari
muslimah yang berhijab dan berniqob (bercadar). Tidak bisa yang berniqob merasa
lebih beriman dan lebih tinggi derajatnya dari yang tidak berniqob. Karena
hukum niqob berbeda-beda di kalangan ulama, ada yang mewajibkan, sunnah bahkan
mubah saja. Boleh pakai boleh tidak sesuai kebutuhan. Keimanan tidak ditentukan
oleh bercadar atau pun tidak selama telah mengenakan hijab yang sesuai dengan
syariat.
Namun, Menag
atau Kemenag tidak perlu masuk terlalu dalam kepada perkara seperti ini. Menag
bukan mufti juga bukan ulama. Tugas-tugas Menag dan Kemenag sudah diatur oleh
UU. Banyak tugas yang lebih penting dan fundamental yang harus segera
dikerjakan dan dituntaskan oleh Menag dan Kemenag dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Menag jadi
terlihat tidak konsisten. Satu sisi melarang cadar karena peristiwa Wiranto.
Sisi lain karena cadar tidak wajib dan bukan indikator keimanan. Meskipun
barangkali maksudnya untuk menguatkan argumentasi semata, "cadar dilarang
karena toh juga ga wajib dan bukan alat ukur keimanan seseorang."
Jadi tidak
perlu Kemenag mengatur persoalan fikih ini yang bahkan masih khilaf hukumnya.
Bijaklah seperti Imam Malik yang menolak kitab Al Muwatho' nya dijadikan
sebagai kitab standar negara untuk mengatur hukum di negerinya pada saat itu.
Imam Malik memahami bahwa masyarakat sudah memiliki pemahaman dan pendiriannya
masing-masing dalam banyak persoalan. Tidak boleh dipaksa untuk mengikuti paham
tertentu.
Menag diawal
pasca pelantikan mengatakan bahwa dirinya bukan Menteri Agama Islam. Tapi
kenapa hingga saat ini yang diurusi hal-hal yang berkaitan dengan umat Islam
semua? Cadar, Khilafah, UAS, Ustadz, pendakwah dan sebagainya. Kasihan sekali
umat agama lain yang akhirnya tidak terurus. Kiranya umat lain perlu menuntut
kepada Menag agar lebih mendapatkan perhatian.
Apabila Menag
memaksakan kebijakan-kebijakan tidak populis seperti di atas, Menag telah
bertindak intoleran. Tidak menghargai hak asasi manusia. Tidak menjunjung
tinggi nilai-nilai demokrasi dan menghormati keberagaman di Indonesia. Bertolak
belakang dari semboyan-semboyan yang selama didengungkan pemerintah agar kita
semua toleran dan menghargai keberagaman.
Di
negara-negara barat sendiri pelarangan cadar dan upaya mendiskiriminasi hak
ibadah dan beragam umat Islam tidak populis. Tidak menarik minat mayoritas
warga yang rata-rata cerdas dan bijak. Kenapa di negeri mayoritas Muslim ini,
yang kemerdekaannya diraih dengan tumpahan darah para Kyai dan Santri, curahan
keringat, jihad harta dan nyawa umat Islam, ada pihak yang bersikap tidak
simpatik kepada umat yang melahirkan bangsa ini?