Ke Arah Persatuan Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Indonesia

Gambar Hanya Ilustrasi


Saat ini kehidupan kaum Muslimin di tanah air sangat berat. Begitu banyak masalah, beban kehidupan, dan tantangan yang harus dihadapi. Di negeri sendiri, kita menghadapi masalah kemiskinan, kebodohan, liberalisasi ekonomi dan pemikiran, konflik sosial, merebaknya budaya barat, tirani media, tirani minoritas, korupsi birokrasi, eksploitasi kekayaan nasional, berkembangnya aliran-aliran sesat, dekadensi moral, kriminalitas, apatisme publik dan lain-lain. Masalah-masalah ini saling kait-mengkait, terkoneksi secara komplek satu jalur dengan jalur lainnya.

Dalam kondisi demikian, mestinya kita berfikir arif dan bijak, menghemat energi kehidupan (waktu, tenaga, pemikiran dan harta), memaksimalkan kerja dan peluang, merapatkan barisan, menambal kebocoran, saling menolong mewujudkan kebaikan, saling menjaga, mengasihi, peduli dan setia kawan antara sesama Muslim. Namun kenyataannya, ternyata tidak mudah mewujudkan harapan-harapan itu. Dalam situasi penuh tantangan ini, kita tidak tergerak untuk bersatu, atau mencari jalan mengishlahkan perselisihan; tetapi kita justru banyak terlibat dalam konflik dan perselisihan antar sesama. 

Salah satu masalah besar yang dihadapi kaum Muslimin di nusantara yang menghalangi terwujudnya persatuan umat, ialah sulitnya menyatukan barisan Ahlus Sunnah wal Jamaah (ASWAJA). Kita patut bersyukur, bangsa ini didominasi oleh kalangan Ahlus Sunnah. Tetapi eksistensi Ahlus Sunnah sendiri tersebar di berbagai organisasi, lembaga, sikap politik, dan bidang aktivitas. Andaikan semua ini dipandang sebagai sebuah keragaman yang saling melengkapi, tentu kita sangat mensyukurinya. Namun dalam kenyataannya, antara sesama Ahlus Sunnah kerap terlibat dalam perselisihan sengit yang akhirnya saling menegasikan.

Ketika Ahlus Sunnah terpuruk dalam labirin pertikaian, akibatnya umat Islam di nusantara terus-menerus didera kelemahan, penderitaan, dan akhirnya berujung pada kelemahan yang berdampak pada kelamnya wajah Indonesia saat ini. Karena kondisi bangsa ini adalah cerminan dari kondisi umat Islam sebagai mayoritas rakyat tanah air. Saat ini kita sangat dituntut untuk mencari jalan perdamaian, titik temu dan jembatan penghubung yang bisa menyatukan hati-hati sesama Ahlus Sunnah. Kita harus berusaha sekuat tenaga membangun kekuatan umat. Kalau tidak bisa menyatukan pemikiran, setidaknya memiliki komitmen untuk saling menghormati dan mengasihi. Kalau tidak mampu berkomitmen, berarti kita harus mampu menahan diri dari sikap-sikap yang bisa memperlebar jurang perpecahan. Apalagi musuh-musuh Islam terus berupaya memerangi umat Islam dengan memecah belah dan mengadu domba berbagai kalangan Ahlu Sunnah satu sama lainnya. Sebagai contoh, mereka mengadu domba antara Wahabi dan NU yang keduanya sejatinya berada di rumah besar Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sama dengan meniup-niupkan isu Takfiri dan sebagainya.

Tidak diragukan lagi, bahwa persatuan umat adalah dambaan kita semua. Banyak dalil syariat yang menyerukan umat Islam agar bersatu padu, merapatkan barisan dan saling tolong menolong dalam kewajiban dan takwa. Hingga disebutkan dalam riwayat, “Berjamaah itu adalah rahmat, sedangkan perpecahan adalah adzab”. [HR. Al Qadha’i, dari Nu’man bin Basyir]. Persatuan kaum Muslimin akan tercapai, jika Ahlus Sunnah wal Jamaah bisa bersatu. Karena Ahlus Sunnah merupakan mayoritas dari kalangan umat Islam di seluruh dunia; mereka adalah pengikut salah satu dari imam-imam Ahlus Sunnah, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Asy Syafi’i dan Imam Hambali. Ahlus Sunnah inilah yang dijanjikan mendapatkan keselamatan dan pertolongan.

Namun dalam praktiknya, tidak mudah menyatukan Ahlu Sunnah, karena disana terdapat perselisihan antara elemen-elemen Ahlus Sunnah sendiri yang tidak jarang dijadikan celah bagi musuh-musuh Islam untuk merusak ukhuwah Islamiyah. Mereka berselisih dalam perkara fiqih, cabang-cabang aqidah, pemikiran, hingga kepentingan politik. Salah satu perselisihan yang menonjol ialah antara paham Asy’ariyah dan Maturidiyah di satu sisi dan Salafiyah di sisi lain.

Setiap kelompok kaum Muslimin yang meyakini kemurnian dan kebenaran paham Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam proses pengajaran dan pergerakan da’wahnya. Ada banyak sekali kebaikan ormas dan warga NU bagi umat dan bangsa. Peran warga Nahdliyyin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia amatlah besar. Di sisi lain ada banyak pula kebaikan pada gerakan da’wah Modernis seperti Persis, Muhammadiyah dan lainnya yang dikategorikan oleh para penuduhnya sebagai Salafi Wahabi terutama dalam da’wah pemurnian aqidah Islam dan perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Melihat bahwa gerakan da’wah Islam sesungguhnya telah demikian marak digerakkan para aktivisnya. Lembaga da’wah dengan berbagai kecenderungan muncul di mana-mana, baik yang hadir secara formal maupun yang tidak formal. Semua ini tentu sebuah realitas yang menggembirakan. Namun bersamaan dengan maraknya gerakan da’wah itu, muncul pula realitas lain yang potensial menghambat laju gerakan da’wah itu sendiri. Realitas itu banyak yang justru lahir dari dalam sendiri.

Ternyata umat belum bisa bersatu dalam mempersepsi persoalan. Keragaman itu lahir dari ragamnya cara pandang dan pemikiran tentang da’wah. Berikutnya gerakan da’wah pun hadir dalam format yang bermacam-macam, visi yang aneka warna, dan orientasi yang bervariasi, meskipun semua mengusung semangat Islam sebagai tujuan akhirnya.

Sebenarnya, ragam pendapat dan pemikiran itu sendiri merupakan persoalan yang ada sejak zaman dahulu. Para sahabat berbeda pendapat tentang beberapa persoalan dan Rasulullah tidak menganggapnya sebagai hal yang negatif. Rahasianya apalagi kalau bukan kenyataan bahwa Rasulullah berhasil menanamkan prinsip akidah dan akhlak demikian kuat dalam dada hingga mampu menjadikan persoalan perbedaan pendapat sebagai realitas manusiawi yang tidak berpengaruh terhadap prinsip dasar itu. Itulah didikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Tampaknya hal inilah yang kini menjadi barang langka. Terkadang sebuah gerakan dibangun pertama kali dengan landasan loyalitas kepada lembaga. Setelah itu pembinaan keislamannya secara murni tidak berlangsung dengan baik. Akhirnya fanatisme kepada golongan lebih dominan muncul daripada pembelaan terhadap aqidah dan keimanan yang merupakan Kalimatun Sawa di antara semua kelompok kaum muslimin dan gerakan da’wah Islam.

Orang sering mengatakan bahwa keragaman institusi Islam yang ada sekarang sebuah realitas positif belaka, agar menjadi media persaingan yang sehat. Sampai batas tertentu pendapat ini bisa dibenarkan. Namun realitas juga yang menjawab bahwa sungguh keragaman yang terus terjadi dan tak kunjung bisa disatukan ini telah melemahkan kekuatan Islam. Umat yang besar ini ternyata tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi berbagai tantangan besar yang dihasilkan dari konspirasi berbagai kekuatan sebagaimana disebutkan di atas.

Istilah Ahlu Sunnah wal Jama’ah bukan milik salah satu kelompok dan golongan dari jama’ah kaum Muslimin. Aswaja adalah nilai dan karakter yang harus dimiliki oleh seluruh umat yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengikrarkan diri Aqidah, ibadah, akhlaq dan semua amaliyah hidupnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan As Sunnah. Maka agar tidak ada lagi sikap saling menegasikan antara kelompok kaum muslimin. Hadits tentang Iftiraqul Ummah semestinya digunakan untuk menda'wahkan KARAKTER SELAMAT bukan KLAIM SELAMAT. Karena Nabi tidak pernah menyebut nama khusus. para ulama pun tidak memastikan bahwa kelompok fulan atau si fulan sebagai golongan yang selamat. Rasulullah hanya menyebutkan KARAKTER (sifat) kelompok yang selamat dengan, "Al-Jama'ah" atau "Maa ana 'alaihi wa ash-habi."

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengingatkan dalam banyak sabdanya tentang bahaya perselisihan dan pertengkaran, selain tentu saja dampak negatif yang ditimbulkannya. Beliau menyeru untuk senantiasa berpegang teguh dengan prinsip, berkasih sayang, saling meringankan beban sesama, di atas landasan I’tisham bihablillah di samping ukhuwah dan cinta karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila itu dipelihara dan diamalkan oleh seluruh elemen umat dan gerakan dakwah, maka insya Allah umat ini akan mendapatkan kejayaannya kembali.

Berkaca kepada sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Umat Islam adalah elemen paling penting dan paling berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan umat Islam di tanah air ini adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Oleh karena itu sangat penting untuk mengupayakan persatuan dengan saling menghormati dan memahami di antara kelompok-kelompok Ahlus Sunnah di nusantara. Sebab, bila Ahlus Sunnah di nusantara ini tidak bersatu maka akan membahayakan keutuhan NKRI. NKRI dibangun, dipelihara dan dijaga oleh umat Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah, karena Indonesia ada dengan adanya umat Islam. Maju dan mundurnya bangsa ini sangat bergantung kepada maju mundurnya kaum Muslimin di tanah air. Marilah kita jaga NKRI ini dengan menjaga persatuan di kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan bersama-sama menyelesaikan masalah-masalah internal maupun eksternal umat demi terwujudnya Indonesia yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Postingan populer dari blog ini

M. Natsir Dan Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia

Kejayaan Pendidikan Islam

Hijrah; Meneladani Rasulullah