Pandangan Natsir Terhadap ‘Kebebasan Berfikir’
Pada prinsipnya M. Natsir memandang Islam telah menempatkan akal pada tempat yang tinggi dan terhormat. Islam dengan tegas melarang taklid buta kepada paham dan i’tikad yang tidak berdasar kepada wahyu Tuhan, yaitu yang hanya mengikuti paham-paham lama secara tradisional tanpa kajian dan analisis tentang benar atau tidaknya. Dalam Islam akal tidak ditindas dan dipaksa, tetapi dipergunakan dan diberi jalan, disalurkan untuk ketinggian dan keluhuran manusia.
Kebebasan
berfikir (akal merdeka) menurut Natsir, bagai dua sisi mata pedang yang sama
tajamnya. Kebebasan berfikir akan memperkokoh keimanan namun dapat pula merusak
keimanan, bisa membuka jendela berfikir yang bersih namun bisa pula membuat
fikiran kotor. Kebebasan berfikir bisa terdapat pada diri orang pintar dengan
kepintarannya bisa pula ada pada diri orang bodoh dengan kebodohannya.
Begitupula dengan taklid dan fanatisme bisa terdapat pada diri orang jahil
maupun intelek.
Kemudian Natsir
mengajukan pertanyaan mendasar, ‘Maka sekarang betapa kita akan berhakim kepada
akal merdeka semata?!’ Islam datang membangunkan akal dan mendorong manusia
memakai akal dengan sebaik-baiknya sebagai suatu nikmat Ilahi yang maha indah.
Islam datang mengalirkan akal menurut aliran yang benar, tidak menyimpang dan
meleset ke mana-mana. Islam datang bukan untuk melepaskan akal dan membiarkannya
liar.
Menurut Natsir,
dalam beberapa hal Islam bertindak sebagai supplement dari akal, menyambung
kekuatan akal yang tidak dapat mencapai hal yang lebih tinggi lagi. Seseorang
yang mengaku bahwa akal itu bisa mencapai semua kebenaran, pada hakikatnya bukanlah
orang yang telah menggunakan akal dengan benar dan bukanlah orang yang akalnya
merdeka, tetapi orang yang terikat oleh semacam taklidisme modern yang bernama
‘rasionalisme’.
Natsir dengan
sangat yakin berpendapat bahwa antara akal dan wahyu ada tempatnya
masing-masing. Akal tidak mungkin dapat melangkahi wahyu Karena memiliki
gelanggangnya masing-masing, supaya tidak keliru menempatkan sesuatu dimana
akal bisa digunakan dan dimana posisi wahyu.
Natsir
mencontohkan Ibnu Sina sebagai seorang rasionalis besar, tetapi ia tidak
melewati batas-batas hukum dalam Islam. Ia tidak salah menentukan mana yang
‘spirit of Islam’ dan mana yang ‘spirit of Hellenisme’.
Secara
filosofis Natsir membedakan syariat mana yang harus sami’na wa a’tho’na bila
kaifa dan mana yang di situ masih ada ruang untuk ijtihad memberdayakan akal.
Natsir melihat Islam diturunkan untuk mengatur semua itu secara pas dan
komprehensif tanpa cacat. Dimana Islam tidak mengekang akal dan membebaskannya
di lapangan yang sudah disediakan selama tidak melanggar pokok-pokok syariat.
Demikianlah
Natsir secara luas dan mendalam mengupas hubungan akal dengan agama sebagai
sesuatu yang integral saling mengisi dan mendorong selama didasari oleh niat
baik dan keimanan kepada Allah swt. Seringkali masalah orang-orang
rasionalis-liberalis lebih kepada ketidakmampuan untuk beriman dan berbaik
sangka kepada syariat Allah swt daripada keilmuan mereka yang ternyata keliru
juga.
Maka adalah
wajar Natsir selaku tokoh umat merasa khawatir dan bersedih menyaksikan para
intelektual muda Islam bermain-main dengan sakralitas wahyu Tuhan tanpa beban
dosa, mencampur adukkan antara akal dengan wahyu bahkan menempatkan akal di
atas wahyu sampai pada tingkat menuhankan akal dan menafikan wahyu.
Natsir,
Akal Merdeka Dan Disertasi Legalisasi Perzinahan
Mohammad Natsir
seorang pemikir besar Islam dalam banyak kesempatan berbicara tentang hubungan
Islam dan akal merdeka. Bahkan tema itu bersama tema hubungan agama dan negara
menjadi perdebatan yang sangat serius antara dirinya dengan pemikir hebat
lainnya, Soekarno. Perdebatan yang disebut-sebut sebagai perdebatan paling
berkualitas di antara tokoh tokoh bangsa saat itu.
Natsir, sama
seperti Mohammad Syahrur, peraih King Faishal Award ini juga adalah didikan
Barat. Namun tidak seperti Syahrur, Natsir tidak terbaratkan. Ia tetap kritis
terhadap Barat. Mental dan sikap kritis atau dalam istilah Natsir disebut
dengan "Ruh Intiqad" yang menjadi spirit dari kebangkitan dan
kemajuan peradaban manusia harus menjadi basic bagi setiap pembelajar. Tanpa sikap
kritis, Natsir katakan, akan menjadi manusia yang tunduk ringkuk, penyembah
kubur dan tempat-tempat keramat, menjadi budak jimat dan air jampi.(Capita
Selecta, jld 1, hal.33)
Natsir akan
memandang munculnya karya 'ilmiah' berjudul; Konsep Milk Al Yamin Mohammad Syahrur
Sebagai Keabsahan Hubungan Seksual non Marital, adalah akibat kekacauan
berfikir. Kekacauan berfikir ini diakibatkan oleh keliru menempatkan akal.
Keliru memberikan status terhadap akal. Akal dipandang oleh kekacauan berfikir
sebagai sesuatu yang layak dipertuhankan karena akal adalah anugerah istimewa
dan manusia dapat hidup secara luar biasa dengan akalnya. Oleh karena itu akal
harus dibebaskan dan dimerdekakan. Tidak boleh dibatasi, dipenjara dan
dikungkung bahkan oleh Wahyu (agama) sekalipun.
Sebagian pihak
memandang bahwa Kampus sebagai tempat lahirnya karya 'ilmiah' adalah tempatnya
mimbar bebas. Akal dibebaskan untuk memikirkan dan menyimpulkan apapun. Bahkan
akal diizinkan untuk menentang dan menyelisihi Tuhan dan Agama. Kampus tidak
boleh diintervensi oleh doktrin-doktrin Ketuhanan, keagamaan dan segala macam
doktrin tentang moralitas. Itulah independensi Kampus. Katanya
Natsir
mengatakan bahwa salah satu dari tiang-tiang ajaran Rasulullah yang penting
adalah menghargai akal manusia dan melindunginya dari tekanan yang mungkin
dilakukan manusia terhadap nikmat Tuhan yang tidak ternilai tersebut. (Capita
Selecta 1, hal.279)
Dalam
pandangannya, Nabi Muhammad meletakkan akal pada tempat yang terhormat dan
menjadikannya sebagai salah satu alat untuk mengetahui Tuhan.
Bagi Natsir,
tidak diragukan lagi bahwa salah satu jasa Islam kepada manusia dan kemanusiaan
adalah "mobilisasi akal". Membuka dan menggerakkan akal manusia yang
sebelumnya tidak mendapatkan tempat yang semestinya dalam kehidupan. (CS 1,
hal.280)
Oleh karena itu
Islam sangat mencela manusia yang tidak menggunakan akalnya. Orang-orang yang
terikat fikirannya pada kepercayaan dan pemahaman yang tidak berdasar kepada
landasan yang benar. Manusia yang tidak mau memeriksa apakah kepercayaan dan
pemahamannya benar atau tidak.
Natsir
menegaskan, dalam Islam akal mendapatkan tempat yang mulia. Islam tidak memaksa
dan menindas akal. Tapi Islam menggunakannya, memberinya jalan dan
menyalurkannya untuk ketinggian dan keluruhan manusia. (Hal.282)
Tapi apakah
berarti akal harus menjadi hakin tertinggi bagi manusia?
Akal merdeka,
kata Natsir, telah memerdekakan kaum Muslimin dari kekolotan yang membekukan
otak. Melepaskan kaum Muslimin dari kemalasan berfikir. Akal merdeka telah
melahirkan para ulama besar, pemikir-pemikir hebat dan cendekiawan-cendekiawan
dunia. Akal merdeka telah membuka Eropa dan menolong peradaban Barat dari
kehinaan.
Tapi akal
merdeka juga melahirkan i'tikad anthropomorphisme (ajaran yang menjadikan
manusia sebagai ukuran bagi segala sesuatu). Akal merdeka juga melahirkan
i'tikad pantheisme. Akal merdeka membuat Al Hallaj berkata " akulah
Tuhan". Akal merdeka juga melahirkan atheisme, sekularisme, pluralisme,
liberalisme dan komunisme. Akal merdeka juga melahirkan kesyirikan, bid'ah,
takhayyul dan khurafat kuno maupun modern. (CS 1, hal.282-283)
Akal merdeka
dapat memperkuat iman dan membersihkan agama dari racun-racun aqidah yang
berbahaya. Tapi akal merdeka juga dapat membongkar tiang-tiang agama.
Melemahkan keimanan dan merusak ibadah dan akhlak manusia.
Natsir
mengibaratkan akal merdeka seperti api yang menerangi kegelapan namun juga
kadang menyala berkobar-kobar, membakar dan menghanguskan apa yang ada.
Setelah itu
Natsir bertanya retoris, "Oleh karena itu akankah kita berhakim kepada
akal merdeka semata?" Tidak! Akal merdeka bagi Natsir telah diposisikan
dengan tepat oleh agama (Islam). Agama datang membangunkan dan membangkitkan
akal. Mendorong manusia untuk memakai akalnya dengan sebaik baiknya sebagai
nikmat Ilahi yang amat berharga.
Agama dapat
mengalirkan akal menurut aliran yang benar. Tidak melantur kemana mana.
Merompak pagar dan pematang. Islam datang bukan untuk melepaskan akal seperti
melepaskan Kuda di tengah lapangan untuk merajalela ke semua ladang.
Dalam beberapa
hal Islam bertindak sebagai suplement dari akal. Menyambung kekuatan akal
ketika akal tidak mencapai hal yang lebih tinggi.
Pihak yang
mengatakan bahwa akal dapat mencapai semua kebenaran. Pada hakikatnya bukanlah
orang yang telah menggunakannya akalnya dengan benar. Bukan pula orang yang
akal merdekanya terbebas dari hawa nafsu dan ketakaburan. Tetapi justru
terjajah oleh salah satu bentuk taklidisme modern yang bernama rasionalisme.
(CS 1, hal.285)
Menurut Natsir,
Islam menjadi pemimpun bagi akal merdeka. Karena akal merdeka itu ada yang
terpimpin, ada yang tersesat dan ada pula yang lepas dari ketentuan agama.
Untuk itulah Islam hadir untuk memimpin akal merdeka tersebut. Untuk akal ada
arenanya. Di mana akal bisa berfikir secemerlang mungkin untuk kemaslahatan
hidup manusia.
Dengan dalih
menghormati akal merdeka lalu melepaskannya begitu saja secara liar hanya akan
menimbulkan kerusakan. Menganggap bahwa harus ada modernitas pemahaman Islam
kaum Muslimin atas teks Al Qur'an maupun hadits sehingga melegalisasi
perzinahan berdasarkan ayat yang dipahami oleh akal merdeka. Akal merdeka yang
tersesat
Modernisasi
Islam menurut Natsir adalah kembali kepada yang pokok atau keaslian. Modern
adalah kembali kepada esensialitas Islam. Bukan membongkar pokok pokok agama
hanya untuk disesuaikan dengan hawa nafsu sesaat. (Pesan perjuangan Seorang
Bapak, hal.16)
Natsir juga
menyoroti kondisi mental bangsa-bangsa terjajah. Rendahnya rasa percaya diri
adalah hal yang paling disorot Natsir sebagai salah satu akibat terbesar akibat
penjajahan.
Kaum muslimin
terpapar penyakit rendah diri. Hilang kebanggaan terhadap agamanya. Lemah untuk
membela agama. Lebih membanggakan bangsa kulit putih. Mengagungkan
pemikiran-pemikiran di luar Islam dan mengutipnya dengan rasa bangga tanpa
bersikap kritis sedikit pun.
Mental rendah
diri ini juga menghinggapi kalangan intelektual muslim. Sehingga bukan hanya
membanggakan pemikiran luar yang sejatinya merusak tapi juga justru merendahkan
pemikiran agama yang dianutnya sendiri.
Natsir
mengingatkan; "Dan bukan saja perlu kita serukan kepada bangsa kita supaya
dalam urusan keduniaan jangan hanya berfanatik kepada kepada masyarakat Onta
dan pohon Korma saja, tetapi juga perlu kita serukan supaya dalam urusan Dien
janganlah mereka sangat terperdaya oleh masyarakat kapal udara dan
televisi!"