Testimoni Buku Biografi Mohammad Natsir
Sebagai peminat pemikiran Mohammad Natsir, cukup banyak bukunya yang telah saya baca maupun buku-buku tentang dirinya. Di rumah ada satu lemari khusus yang saya namakan NATSIR CORNER yang hanya berisikan buku buku Natsir dan buku buku tentang Natsir. Mendapati buku ini, saya hampir sampai pada kesimpulan yang sama dengan Prof. Bakhtiar Effendy bahwa rasanya sudah tidak diperlukan lagi uraian mengenai Mohammad Natsir meski hanya sehalaman dua halaman. Begitu pula saat saya bincangkan terkait terbitnya buku ini kepada sesama predator buku. Dia bilang, “isinya paling itu-itu saja.”
Tapi saya
nyatanya mendapatkan sesuatu yang berbeda dan istimewa. Salah satu faktor
pembedanya adalah buku ini ditulis oleh orang yang punya kedekatan pribadi dan
intelektual dengan Natsir. Lebihnya lagi beliau ini adalah jurnalis andal yang
membuat kita ringan saja menikmati buku ini tanpa harus kerut merut. Dari
perkenalan saya dengan beliau, Bang Lukman Hakiem adalah juga murid dan staf
Pak Natsir dalam waktu yang cukup lama,
redaktur majalah Media Dakwah di bawah pimpinan Natsir. Beliau juga
aktivis Islam yang senafas dengan gurunya itu, pun beliau terlibat langsung
dalam dinamika perjuangan politik dan dakwah Islam tanah air. So, inilah yang
membuat buku ini bernafas.
Saya kira buku
ini adalah buku yang paling komprehensif yang berbicara tentang Natsir. Bicara
dari A sampai Z kehidupan, kepribadian, pemikiran dan perjuangannya.
Konsekuensinya di sisi lain pemikiran pemikiran Natsir yang begitu kaya tidak
dapat dielaborasi dengan sangat mendalam. Bisa dipahami, karena kalau itu
dilakukan buku ini akan berjilid-jilid banyaknya. Banyak pertimbangan tentu
saja kenapa buku tentang Natsir ini tidak dibuat berjilid-jilid.
Memang masih
ada beberapa kesalahan ketik yang semestinya bisa dihindari. Tapi karena waktu
yang terbatas, mungkin tidak banyak waktu untuk mengedit tulisan lebih
maksimal. Namun seperti yang dikutip Bang Lukman, buku yang sempurna adalah
buku yang tidak pernah diterbitkan. Harapannya di cetakan berikutnya bisa
diperbaiki agar menikmati buku gurih ini bisa semakin khusu’ dan tuma’ninah.
Hal menarik
lainnya adalah buku ini memberikan tempat kepada intelektual muda muslim
seperti Beggy Rizkiyansyah, pegiat Jejak Islam untuk bangsa untuk memberikan
testimoni. Tentu bukan hanya karena baiknya si penulis semata tapi karena Beggy
memang layak untuk masuk menjadi bagian dari sejarah buku ini. Tampak jelas
betapa salah satu dari jiwa yang menonjol dari penulisan buku ini adalah
semacam yang diistilahkan Natsir “timbang terima dakwah”. Seolah seruan “Anak
muda lanjutkan kerja-kerja dakwah seperti ini!”
Natsir adalah
sejarah besar. Berbicara tentang Natsir adalah bicara bangsa. Membaca bangsa
tanpa membaca Natsir merupakan sebentuk pengkhianatan kepada sejarah itu
sendiri. Jujur terhadap sejarah bukan hanya berdamai dengan sejarah tapi juga
berdamai dengan kehormatan diri.
Sama halnya
dengan harus jujur mengakui bahwa salah seorang guru Natsir yang sangat
mempengaruhi pemikirannya adalah A. Hassan. Natsir sendiri yang mengakuinya.
Pernah dulu sekali ada kesan dan upaya yang mencoba menihilkan fakta ini. Bahwa
Natsir hanya milik Dewan Dakwah tak terkait dengan tokoh dan ormas mana pun.
Tentu saja pemikiran kerdil ini menggelikan. Membonsai Natsir yang besar
menjadi Natsir yang hanya pernah mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
semata.
Banyak yang
sudah saya ketahui tentang Natsir sebelum membaca buku ini. Tapi ternyata lebih
banyak yang belum saya ketahui tentang Natsir setelah membaca buku ini. Jadi
tidak rugi saya. Lagi pula apanya yang rugi? Bahkan saya beruntung dapat
menikmatinya.
Di bagian
pengantar dan bab bab awal saja saya mencatat ada beberapa hal yang patut
dibincangkan di antaranya:
Pertama, agak
mengejutkan di buku ini penulis ‘berani’ mencantumkan foto umi Nurnahar yang
tidak berjilbab. Ada pula foto Natsir yang sedang memegang rokok. Natsir memang
pernah jadi perokok, namun karena sakit menurut keterangan sahabatnya, KH Isa
Anshari, Natsir berhenti sama sekali dari rokok. Biasanya kalangan ‘Islamis’
sangat ketat terhadap data yang sekiranya akan menurunkan citra baik tokohnya,
pun pada Natsir. Apalagi buku ini ditulis dan diterbitkan oleh internal lembaga
yang didirikan oleh Natsir yang saya tahu betul sebagai para pembela jilbab
yang amat gigih dan aktivisnya hampir semua tidak merokok. Saya yakin
pencantuman kedua foto itu ada penjelasannya dari penulis.
Kedua, buku ini
mengisahkan Natsir senang bermain musik bahkan ahli bermain biola. Hal ini
tidak banyak diketahui bahkan oleh sebagian kadernya sendiri. Dalam konteks
pemikiran Islam di tanah air yang satu sisinya sangat tekstual saat ini, Natsir
bermain biola tentu dipandang sebagai penyimpangan dan disesalkan. Saya sendiri
tidak anti musik dan punya pembenaran atas sikap Natsir yang suka main biola.
Lagi lagi pasti penulis punya penjelasannya.
Ketiga,
berdebat dengan Guru. Natsir sendiri
menyatakan bahwa dirinya terkadang berdebat dengan A. Hassan. Benar benar
berdebat, katanya. Tentu saja berdebat dalam makna dan cara yang dibenarkan.
Berdebat untuk mendapatkan kebenaran bukan mencari pembenaran. Silang pendapat
bukan silang pendapatan. Adab tetap diperhatikan oleh Natsir. Sayang sekali
tradisi ini tidak cukup terwarisi kader- kader mudanya. Sehingga sering kali
gagap ketika menghadapi pemikiran pemikiran menyimpang. Bukan karena tidak
benar tapi karena tidak trampil bicara benar.
Keempat, bagi
anak muda Natsir adalah teladan ideal. Natsir seorang yang gigih berjuang,
tekun belajar dan pantang menyerah. Kehidupan semasa sekolahnya membuktikan
itu. Satu yang paling menonjol adalah kebiasaannya menamatkan satu buku dalam
satu pekan. Mana ada di Kids Zaman Now anak sekolah atau anak kuliahan yang
punya tradisi baca buku. Satu buku satu pekan pula. Kecerdasan Natsir saya
yakin satu sebabnya adalah luas dan dalamnya bacaan. Jadi, anak muda yang mau
secerdas Natsir, rajin-rajinlah membaca.
Sebagai
pamungkas, saya terus terpukau oleh ungkapan Natsir yang saya anggap ungkapan
tersebut adalah kata mutiara terbaik tokoh Islam sekaligus tokoh bangsa tentang
keislaman dan kebangsaan;
“Kita dapat menjadi seorang Muslim yang taat,
yang dengan riang gembira pula menyanyikan ‘Indonesia Tanah Airku’.”